LAKUKAN HAL INI KETIKA ENGKAU MERINDUKANNYA
Ambillah Wudhu
Tadahkan tanganmu di atas sajadahmu
lalu pejamkan matamu dan katakanlah..
YA ALLAH
Hamba sangat merindukannya
merindukan kehadirannya
Dia
yang akan menjadi Imam /makmum hamba
Dia
yang akan menjadi pelepas duka dan lara
Dia
yang akan menjadi teman hingga saat terakhir
hamba
Dia
yang hatinya di selimuti Ta'at dan taqwa
YA ALLAH
Pertemukanlah kami di sebuah majlis
pernikahan tanpa Harus pacaran dan
berdua-duaan..
YA ALLAH
pertemukanlah kami hanya keranaMU
DI ATAS RIDHOMU
AAMIIN
Kamis, 25 Juli 2013
Rabu, 06 Februari 2013
makalah birokrasi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Birokrasi dan politik bagai dua mata uang
yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang
merupakan dua buah institusi yang memiliki karakater yang sangat berbeda, namun
harus selalu saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara dua institusi ini
pada satu sisi memberikan sebuah ruang yang positif bagi apa yang disebut
dengan sinergi, namun acapkali juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma
perselingkuhan.
Menurut Etzioni-Havely (dalam
Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk
untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam
tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan
keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara
perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber
daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki
oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat
kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai
arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti
yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan
kebijakan disebut juga dengan politik.
Sementara birokrasi adalah sebuah
institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem
kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi
melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak
bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang
membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik.
Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau
harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan
birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain
dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah
mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya
dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah demokrasi yang normatif.
Dalam berbagai macam pola hubungan antara
birokrasi dan politik, institusi politik -sebagaimana diketahui bersama-
terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara
politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi
pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan
dengan kelompok kepentingan politik tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan di atas, penulis mengajukan rumusannya masalah secara singkat
sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan
birokrasi?
2.
Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi birokrasi?
3.
Apakah yang dimaksud dengan
politik?
4.
Bagaimana birokrasi Indonesia
sebelum adanya reformasi birokrasi?
5.
Bagaimana sejarah lahirnya
reformasi birokrasi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta
hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah
ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari
reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum
berjalan secara efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Birokrasi
1.
Pengertian Birokrasi
Jika
dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro
yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki
dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma
formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan
yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan
prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi
berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada
1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara
kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso,
2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
·
Birokrasi dapat diartikan sebagai
kelompok pranata atau lembaga tertentu.
·
Birokrasi dapat diartikan sebagai
suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.
·
“Kebiroan” atau mutu yang
membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam
Thoha, 2003)
·
Kelompok orang yang digaji yang
berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)
Birokrasi Ideal Menurut Weber
Max Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi
elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan
sebuah model birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam
Islamy, 2003):
·
Pembagian Kerja (division of
labour)
·
Adanya prinsip hierarki wewenang
(the principle of hierarchi)
·
Adanya sistem aturan (system of
rules)
·
Hubungan Impersonal (formalistic
impersonality)
·
Sistem Karier (career system)
2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi birokrasi:
a.
Faktor
budaya
·
Budaya dan perilaku koruptif yang
sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
·
Budaya “sungkan dan tidak enak”
dari sisi masyarakat
·
Masyarakat harus menanggung biaya
ganda karena zero sum game
·
Internalisasi budaya dalam
mekanisme informal yang profesional
b.
Faktor
individu
·
Perilaku individu sangat bersifat
unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
·
Perilaku individu juga terkait
dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas
·
Perilaku opportunistik hidup subur
dalam sebuah sistem yang korup
·
Individu yang jujur seringkali
dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
c.
Faktor
organisasi dan manajemen
·
Meliputi struktur, proses,
leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan
masyarakat
·
Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi
·
Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip
efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan
·
Birokrasi juga sangat ditentukan
oleh peran kepemimpinan yang kredibel
·
Dalam aspek kepegawaian,
Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai,
dan kompetensi yang rendah.
·
Hubungan masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi
masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen charter)
d.
Faktor
politik
·
Ketidaksetaraan sistem birokrasi
dengan sistem politik dan sistem hukum
·
Birokrasi menjadi “Geld Automaten”
bagi partai politik
·
Kooptasi pengangkatan jabatan
birokrasi oleh partai politik
B.
Politik
1.
Pengertian
Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu
politik.
Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di
samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
·
politik adalah usaha yang ditempuh
warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
·
politik adalah hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
·
politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
·
politik adalah segala sesuatu
tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam
konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi
politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk
tentang partai politik.
C.
Gambaran
Umum Birokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi
di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan
Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk
pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang
tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang
merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai
pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari
model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang
di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak
efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan
ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti
:
·
Maraknya tindak KKN
·
Tingginya keterlibatan birokrasi
dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal
·
Pelayanan publik yang
diskriminatif
·
Penyalahgunaan wewenang
·
Pengaburan antara pejabat karir
dan non-karir
D.
Sejarah
Reformasi Birokasi di Indonesia
Reformasi
politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika
politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan
reformasi birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan
signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat
nyata dari reformasi politik 1998.
Pasca
reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh
politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat
terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun
1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil
(PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun
1974.
Saat
membentuk yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan
tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut
adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu
juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama
dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.
Kemudian
ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut
bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak
sipil warga negara.
Penghapusan
dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah
debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan
mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.
Aturan
induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan
Pemerintah 1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam
pemerintahan Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar,
yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non
karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan
terlaksana. Hingga pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara
riil dengan pembentukan UU.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal
ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus
sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia
usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur
negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan
akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu
menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam
berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh
tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang
di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh
birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima
bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh departemen keuangan.
B.
Saran
Untuk memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan
perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang
yang telah ada. Dengan demikian, proses reformasi birokrasi dapat berjalan
dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh
pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able
government ke better government dan trust government. Selain
itu, diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan
percepatan pemberantasan korupsi.
Langganan:
Postingan (Atom)